Sebuah Mahakarya


Sebuah ladang gandum kuning keemasan langsung tersaji di benak saya. Sambil bergumam, bibir saya membacakan sepotong prosa Wendoko, dari bukunya yang bertajuk “Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa.”

Ladang gandum mengombak
- cokelat dan kuning emas.
Langit adalah goresan yang patah-patah
di muka kanvas
- kuning-pudar dan bergaris hitam.
Ada matahari yang bulat - kuning-pucat.

Dua orang yang sedang duduk bersama saya—sore itu—terkesima. “Waw, itu judulnya apa?” tanya Evi. Dialah yang baru saja memberikan buku itu kepada saya, masih terbungkus sampul dan kantong plastik sebuah toko buku ternama. Saya yang tak sabar segera merobek plastik pembungkus dan acak membaca halaman demi halaman. Lalu menemukan sepotong prosa itu.

Van Gogh: Wheat Field Behind Saint Paul Hospital With A Reaper,” jawab saya sambil tersenyum. Terperangkap dalam pesona kata-kata sang penyair.

“Waw,” Patricia mendesis. Pandangannya menerawang. Saya yakin, ia pun membayangkan imajinasi ladang gandum yang sama.

“Van Gogh? Bukankah ia seorang pelukis?” Tanya Evi.

“Ya, ya, dia pelukis,” jawab saya. Mungkin sang penyair menatap lukisan pelukis Belanda itu. Merekam dalam ingatan. Lalu menumpahkannya kembali ke dalam ramuan kata-kata.

“Vincent Van Gogh bukan?” ucap Evi.

Sekali lagi saya mengangguk. Benar, Van Gogh yang itu. Pelukis yang malang. Seluruh lukisannya terkenal, menjadi mahakarya, justru ketika ia mati. Ironinya, semasa pemuda ini hidup, tak seorang pun menghargai karyanya. Van Gogh memberontak dari aliran impresionisme. Ia memilih melukis dengan ekspresif. Orang-orang menganggapnya aneh, memandang sebelah mata. Laki-laki ini depresi. Mengakhiri hidupnya. Setelah Van Gogh meninggal, justru orang menoleh pada karyanya. Lalu meledak menjadi mahakarya.

“Ya ampun, jadi ia terkenal setelah ia mati? Setelah ia bunuh diri?” Patricia melongo.

Lagi-lagi saya mengangguk. Ironis ya.

“Masa kita harus bunuh diri dulu baru kemudian bisa terkenal?” ucapnya kemudian. Masih terheran-heran.

Kalimat Patricia berdengung di telinga. Seperti lebah. Masa kita harus bunuh diri dulu baru kemudian bisa terkenal? Lalu siapa yang akan menikmati hasilnya? Orang lain? Benar kata pepatah, banyak jalan menuju Roma. Maksud saya, sepertinya memang benar-benar banyak cara untuk menjadi terkenal. Dari yang ekstrem negatif sampai ekstrem positif. Tapi kalau benar-benar mencermati berita-berita di koran dan majalah, acara gosip dan hiburan di televisi, lebih banyak negatifnya.

Ada bintang film yang terkenal setelah berpose nyaris telanjang di sebuah film atau majalah. Si penyanyi itu terkenal setelah menjadi simpanan pengusaha. Pejabat itu naik pangkat setelah menendang rivalnya, membuat jebakan intrik dan politik.Konglomerat itu berhasil mencaplok sejumlah perusahaan kecil setelah sebelumnya mengintimidasi mereka. Rocker itu terkenal dengan aksi panggungnya setelah mencandu narkoba.Perempuan itu populer karena tak segan memamerkan bagian-bagian tubuhnya yang sensitif. Menjadikannya komoditas bergilir.

Daftar ini bisa panjang kalau diteruskan. Ya ya ya, mereka pun melakukan bunuh diri sebenarnya. Bunuh diri dalam arti yang bukan fisik. Bukan raga yang mati. Tapi jiwa, harga diri, nilai, moral, prinsip. Itulah yang mereka bunuh dalam diri mereka. Dikorbankan sebagai tumbal supaya diri mereka populer, diterima banyak orang, kaya raya, punya tahta. Sebenarnya kita sering melakukannya juga. Tidak percaya?

Ketika kita melontarkan kata-kata dan sikap yang melukai hati orang lain. Lalu kita enggan meminta maaf karena gengsi. Ketika kita bertengkar dengan orangtua. Ketika kita membohongi seseorang. Ketika kita mengkhianati kepercayaan seseorang yang dekat dengan kita. Ketika kita membalas dendam. Memaki orang. Kesal ketika dituduh melakukan sesuatu oleh bos, lalu membicarakannya di belakang. Enggan memaafkan.

Masih panjang juga daftarnya kalau diteruskan. Berapa kali kita membunuh suara nurani saat itu terjadi? Ketika kita mengutamakan ego? Sepertinya cuma manusia setengah dewa yang bisa menghindarinya, yang sudah tidak menghirup napas di bumi. Yang terbang di awan-awan.

Uhm... tapi seseorang bilang pada saya. Tak ada sesuatu yang mustahil. Apalagi setelah saya mengenal Dia. Ngomong-ngomong, sudah kenal Dia belum? Seorang laki-laki yang lahir di Betlehem, namanya Yesus. Setelah mengenalNya, kerinduanNya adalah kita menjadi serupa dengan Dia. Dia memberi kita kasih karunia, yang menyanggupkan kita serupa dengan Dia.

Tunggu, tunggu. Apa hubungannya terkenal dan menjadi serupa dengan Dia?

Sebagai orang Kristen, kita adalah garam dan terang kan? Terang, artinya kita bersinar di antara sekelompok orang. Ya, kita bisa terkenal, dikenal, tanpa harus “membunuh” nurani. Lalu menjadi zombie. Bukankah Yesus adalah jalannya?

Kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus. Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya. - Roma 6 : 11-12

Yang seharusnya kita bunuh adalah “ego”. Um… ya-ya-ya. Ini berat. EGO. Penguasaan diri. Hufff.... Saya ingin menarik napas.

Ketika disalahkan atas sesuatu yang sebenarnya bukan salah kita, tapi mesti memaafkan. Mesti bersabar pada orang yang berkali-kali melakukan kesalahan. (Padahal ingin marah-marah!)

Ehm, yang ini daftarnya juga bisa panjang. Wah! Ini tak mudah, memang. Tapi hanya orang yang sanggup membunuh “ego”nya, yang hidupnya bisa berubah. Ketika kita mematikan ego satu demi satu, cahaya Kristus mulai bersinar dalam diri kita. Karakter kita yang berubah. Orang memandang kita berbeda. Saat itulah, Tuhan memahat sebuah mahakarya dalam diri kita. Sebuah lukisan kehidupan, yang terdiri atas kepingan-kepingan yang disatukan. Dan di pojok kanan bawah kanvas, ada guratan namanya: “From Jesus, with love.” Hmm... rasanya seperti dipeluk Tuhan. (NI/ www.indrigautama.org)