My Papa, My Friend


Aku ingat kejadian beberapa tahun lalu, waktu aku bekerja sebagai asisten guru di sebuah sekolah TK. Aku ditugaskan menjaga Jim, seorang anak semi autis berumur 6 tahun. Ia punya kecenderungan melukai teman-teman kelasnya, membanting-banting mainan, melakukan dan mengatakan apa saja yang disukainya. Temperamennya juga tidak stabil, ia bisa senang seketika dan marah seketika. Aku sering mengajaknya ngobrol.

Tiap tahun TK itu mengadakan pertunjukan drama musikal yang diadaptasi dari cerita-cerita Disney. Tahun itu adalah tahun terakhir Jim di TK. Jim mendapat peran di drama tersebut. Para orangtua tentunya hadir untuk menonton pertunjukan yang diperankan oleh anak-anak mereka.

Di akhir acara, ketika semua anak dan orangtua mau pulang, Jim memperkenalkan ayahnya kepadaku. Kalimat ini tak pernah lepas dari ingatanku. Dengan antusias dan senyum lebar, Jim bilang seraya menunjuk ayahnya yang berdiri tersenyum di sampingnya, “Miss Viona, this is my friend, my papa!”

Aku tak pernah lupa ekspresi senang Jim waktu memperkenalkan ayahnya sebagai “my friend, my papa”. Aku terpesona dengan bagaimana Jim menggambarkan ayahnya. Jim menganggap ayahnya sebagai teman. Tak peduli bagaimana kondisi Jim, ayahnya sangat menyayangi Jim. Ia tidak hanya berperan sebagai seorang ayah yang berkuasa mendidik anaknya, tetapi juga sebagai teman yang menempatkan diri setara dengan posisi anaknya. Pendek kata, seorang teman.

Berapa banyak anak yang bisa menyebut ayahnya sebagai teman? Teman selalu memberi diri untuk berbagi apa yang dimilikinya, perasaan dan cerita di dalam hatinya. Teman dapat saling percaya satu sama lain dan memegang kepercayaan sebagai nilai tertinggi mereka. Apa sih nilai yang lebih tinggi dalam persahabatan kalau bukan kepercayaan? Teman berusaha mengerti apa yang dialami temannya, berusaha mendukung.

Aku sendiri merasakan bahwa ayahku bisa mensejajarkan pandangan matanya dengan pandangan mataku sehingga aku merasa dan tahu bahwa ayahku mempercayaiku dan aku juga tak mau mengecewakan kepercayaannya padaku. Ayahku menjadi teman bagiku. Aku menghormatinya sebagai ayahku dan menyayanginya seperti aku menyayangi temanku. Aku dapat menceritakan isi hatiku pada ayahku dan apa yang dirasakan ayahku dapat menjadi sesuatu yang mendukung perasaanku terhadap apa yang kualami.

Aku dan ayahku, selain berhubungan sebagai orangtua dan anak, adalah teman. Aku menyukai ayahku dan senang sekali berbagi cerita dengannya, karena aku tau, seperti apapun ceritaku, ayahku akan tetap mendengarkan ceritaku. Dan seperti apapun karakterku, ayahku akan tetap menyayangiku. Seperti apa yang dilakukan ayah Jim terhadap Jim ‘kan? Aku banyak mendengar dari teman-temanku bagaimana ayah mereka tidak punya waktu untuk menjadi teman bagi mereka. Banyak ayah lalai membagi cerita dan perasaannya, bahkan seringkali memperlihatkan kekakuan seorang ayah dengan karakter yang ditakuti anak-anak.

Menurutku, tidak ada ayah yang berpengalaman. Yang ada, adalah ayah yang berpengertian.

Terngiang Jim memperkenalkan ayahnya padaku sambil nyengir lebar, “Miss Viona, this is my friend, my papa!”

Saatnya ….untuk hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya….. (viona patricia/indrigautama.org)