Saat Teduh 16 - 22 November 2015

Ayat Hafalan:
Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. (Amsal 3:6)
 
Senin, 16 November 2015
Perubahan Arah dari Allah
Amsal 3:1-8
Seabad yang lalu, Oswald Chambers, yang pada saat itu berusia 41 tahun, tiba di Mesir untuk melayani sebagai pembina rohani dari YMCA bagi pasukan Persemakmuran Inggris selama Perang Dunia I. Chambers ditempatkan di kamp di Zeitoun, sekitar 10 km di sebelah utara Kairo. Di malam pertamanya, tanggal 27 Oktober 1915, Chambers menulis dalam buku hariannya, “[Daerah] ini benar-benar merupakan gurun di tengah-tengah pasukan dan memberikan kesempatan yang luar biasa bagi kami. Semuanya sama sekali asing dan berbeda dari apa yang biasanya aku alami, tetapi aku memandang dengan penuh harap tentang segala hal baru yang akan Allah rancang dan lakukan di sini. “

Chambers meyakini dan menerapkan firman Tuhan dalam Amsal 3:5-6: “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”

Perkataan tersebut sungguh menghibur sekaligus menantang kita. Kita memang bisa merasa aman ketika kita yakin bahwa Tuhan akan menuntun kita hari demi hari, tetapi kita tidak boleh menjadi begitu terikat pada rencana kita sendiri sampai-sampai kita menolak perubahan arah yang dikehendaki Allah atau waktu yang ditetapkan-Nya.

“Kita tidak memiliki hak untuk mengatur di mana seharusnya kita ditempatkan, atau untuk mempunyai praduga akan apa yang sedang Allah rancang atas diri kita,” kata Chambers. “Allah merancang segala sesuatu. Di mana saja Dia menempatkan kita, biarlah kita meneguhkan tekad untuk sepenuh hati mencurahkan pengabdian kita kepada-Nya dalam pekerjaan apa pun yang sedang kita lakukan.” —David McCasland

Selasa, 17 November 2015
Semua Selamat
Ibrani 11:8-16
Pada Januari 1915, kapal Endurance terjebak dan terjepit hingga hancur di hamparan es di lepas pantai Antartika. Sekelompok penjelajah kutub, yang dipimpin oleh Ernest Shackleton, dapat bertahan hidup dan berhasil mencapai Elephant Island dengan tiga sekoci kecil. Terjebak di pulau tak berpenghuni yang jauh dari jalur pelayaran yang normal itu, mereka mempunyai satu harapan. Pada 24 April 1916, 22 laki-laki menyaksikan Shackleton dan lima awaknya pergi berlayar dalam sekoci kecil menuju South Georgia, sebuah pulau sekitar 1.300 km jauhnya. Kemungkinan mereka untuk berhasil memang kecil, dan jika keenam orang itu gagal, mereka semua pasti mati. Sungguh menggembirakan, setelah lebih dari empat bulan berlalu, sebuah kapal muncul di cakrawala dan Shackleton yang berada di haluan kapal itu berteriak, “Apakah kalian baik-baik saja?” Mereka yang di pulau membalas, “Semua selamat! Kami baik-baik saja!”

Apa yang membuat mereka tetap bertahan hidup selama berbulan-bulan? Keyakinan dan harapan mereka pada satu orang. Mereka percaya Shackleton akan menemukan cara untuk menyelamatkan mereka.

Teladan keyakinan dan harapan manusiawi ini mencerminkan iman dari para tokoh Alkitab yang tercantum dalam Ibrani 11. Iman mereka pada “segala sesuatu yang [mereka] harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak [mereka] lihat” telah menolong mereka bertahan saat melalui berbagai kesulitan dan pencobaan besar (Ibr. 11:1).

Ketika kita memandang ke cakrawala masalah yang ada di hadapan kita, janganlah kita putus asa. Biarlah kita terus berpengharapan oleh karena keyakinan iman kita kepada Satu Pribadi, yaitu Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita. —Randy Kilgore

Rabu, 18 November 2015
Pertanyaan yang Membara
Keluaran 3:1-6,10-14
Sebuah hikayat dari para penduduk asli Amerika mengisahkan tentang seorang pemuda yang dikirim ke tengah hutan sendirian pada suatu malam di musim gugur dengan maksud untuk membuktikan keberaniannya. Segera saja langit menjadi gelap dan bunyi-bunyian di malam hari mulai terdengar. Dedaunan menggerisik dan ranting-ranting berderak, seekor burung hantu berdecit, dan anjing hutan melolong. Meski takut, pemuda itu tetap tinggal di hutan itu sepanjang malam untuk melewati ujian keberaniannya. Akhirnya pagi pun tiba, dan ia melihat sesosok orang berada di dekatnya. Ternyata itu adalah kakeknya yang telah menjaganya sepanjang malam.

Ketika Musa berada di padang gurun, ia melihat semak duri yang menyala tetapi tidak dimakan api. Kemudian Allah mulai berbicara kepadanya dari semak itu lalu mengutusnya kembali ke Mesir untuk membawa bangsa Israel keluar dan merdeka dari perbudakan yang kejam. Musa yang merasa enggan mulai mengajukan pertanyaan: “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun?”

Allah hanya menjawab, “Bukankah Aku akan menyertai engkau?”

“Apabila aku . . . berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya?—apakah yang harus kujawab kepada mereka?”

Allah menjawab, “Aku adalah Aku. . . . Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: Akulah Aku telah mengutus aku kepadamu” (Kel. 3:11-14). Frasa “Aku adalah Aku” dapat diartikan, “Aku akan selalu menjadi diri-Ku” dan itu mengungkapkan sifat Allah yang kekal dan mahakuasa.

Allah telah berjanji untuk senantiasa menyertai setiap orang yang percaya kepada Yesus. Segelap apa pun jalan hidup yang kita lalui, Allah yang tak terlihat itu selalu siap memenuhi segala sesuatu yang kita butuhkan. —Dave Egner


Kamis, 19 November 2015
Bukan Kekhawatiranku
Yesaya 40:25-31
Ada seorang pria yang selalu khawatir tentang segala sesuatu. Suatu hari teman-temannya mendengar pria itu bersiul riang dan terlihat sangat santai. “Apa yang terjadi?” tanya mereka sambil keheranan.

Pria itu berkata, “Aku sudah membayar seseorang untuk merasakan kekhawatiranku.”

“Kamu bayar berapa orang itu?” tanya mereka.

“2.000 dolar AS seminggu.” jawab pria itu.

“Wow! Memangnya kamu sanggup membayar sebesar itu?”

“Aku memang tak sanggup,” jawabnya, “tetapi biar orang itu saja yang mengkhawatirkannya!”

Meskipun cara menangkal stres yang lucu di atas tidak mungkin terjadi di dunia nyata, sebagai anak-anak Allah kita boleh menyerahkan kekhawatiran kita kepada satu Pribadi yang mengendalikan segala sesuatu dengan sempurna, sekalipun—dan terutama—ketika kita merasa segalanya telah berjalan di luar kendali.

Nabi Yesaya mengingatkan kita bahwa Allah memanggil keluar bintang-bintang dan memanggil nama mereka (Yes. 40:25-26). Karena “Ia mahakuasa dan mahakuat”, tidak ada satu pun bintang yang terhilang (ay.26). Dan sebagaimana Allah mengenal nama-nama bintang, Dia mengenal kita masing-masing secara pribadi. Setiap dari kita berada di bawah perhatian-Nya yang penuh kasih (ay.27).

Ketika kita mulai merasa khawatir, kita dapat menyerahkan kekhawatiran itu kepada Tuhan. Dia tidak pernah merasa jemu atau lelah untuk memperhatikan kita. Segala hikmat dan kuasa ada di dalam Dia, dan dengan sukarela Dia mencurahkan hikmat dan kuasa itu demi kepentingan kita. Allah Mahakudus yang memerintah bintang-bintang itu memeluk kita dengan tangan kasih-Nya. —Poh Fang Chia



Jumat, 20 November 2015
Pemeriksaan Rohani
Kolose 3:1-14
Untuk mendeteksi masalah kesehatan, dokter menyarankan perlunya pemeriksaan fisik secara rutin. Kita juga dapat memeriksa kesehatan rohani kita dengan mengajukan pertanyaan yang bersumber dari perintah agung yang disebutkan oleh Yesus (Mrk. 12:30).

Apakah aku mengasihi Allah dengan segenap hatiku karena Dia lebih dahulu mengasihiku? Manakah yang lebih kuat, keinginanku untuk meraih harta duniawi atau harta rohaniku di dalam Kristus? (Kol. 3:1). Dia rindu damai sejahtera-Nya menguasai hati kita.

Apakah aku mengasihi Allah dengan segenap jiwaku? Apakah aku mendengarkan perkataan Allah tentang identitasku? Apakah aku menjauhi nafsu untuk memuaskan diri? (ay.5). Apakah aku lebih berbelaskasihan, murah hati, rendah hati, lemah lembut, dan sabar? (ay.12).

Apakah aku mengasihi Allah dengan segenap akal budiku? Apakah aku memusatkan perhatian pada hubunganku dengan Yesus, Anak-Nya, atau membiarkan pikiranku berkelana? (ay.2). Apakah pikiranku membawaku pada masalah atau solusi? Persatuan atau perpecahan? Pengampunan atau pembalasan dendam? (ay.13).

Apakah aku mengasihi Allah dengan segenap kekuatanku? Apakah aku rela dianggap lemah agar Allah dapat menyatakan kekuatan-Nya melalui diriku? (ay.17). Apakah aku bersandar pada kasih karunia-Nya untuk menjadi kuat dalam kuasa Roh Kudus?

Ketika kita mengizinkan “perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara [kita] . . . dengan segala hikmat” (ay.16), kita akan menjadi sehat rohani dan berguna bagi-Nya, dan Dia akan memperlengkapi kita untuk menguatkan iman satu sama lain. — Julie Ackerman Link

Sabtu, 21 November 2015
Kasihlah yang Pertama
1 Yohanes 4:7-19
Pada satu malam seorang kawan menunjukkan kepada saya salah satu dari tiga plakat hiasan yang akan dipasang pada dinding ruang keluarganya. “Nah, aku sudah mempunyai Kasih,” katanya sambil memegang plakat yang bertuliskan kata tersebut. “Yang berikutnya adalah Iman dan Pengharapan.”

Kasih yang pertama kali muncul, pikir saya. Barulah setelah itu Iman dan Pengharapan!

Kasih memang yang pertama. Kasih bahkan berasal dari Allah. 1 Yohanes 4:19 mengingatkan kita bahwa “Kita mengasihi [Allah], karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Kasih Allah, seperti yang dijabarkan dalam 1 Korintus 13 (pasal yang dikenal sebagai “pasal kasih”), menjelaskan salah satu ciri dari kasih sejati dengan menyatakan bahwa “Kasih tidak berkesudahan” (ay.8).

Iman dan pengharapan itu penting bagi hidup orang percaya. Hanya dengan dibenarkan karena iman, “kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus” (Rm. 5:1). Dan pengharapan disebutkan dalam Ibrani 6 sebagai “sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita” (ay.19).

Suatu hari nanti, kita tidak lagi memerlukan iman dan pengharapan. Iman akan menjadi penglihatan dan pengharapan kita akan diwujudkan ketika kita bertatap muka dengan Juruselamat kita. Namun, kasih itu kekal, karena kasih berasal dari Allah dan Allah adalah kasih (1Yoh. 4:7-8). “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan, dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih”—kasihlah yang pertama dan terutama (1Kor. 13:13). —Cindy Hess Kasper

Minggu, 22 November 2015
Jalan yang Berat
Mazmur 25:4-11
Seorang teman memancing menceritakan kepada saya tentang danau yang letaknya tinggi di lereng utara Gunung Jughandle di Idaho, Amerika Serikat. Ada kabar bahwa di sana terdapat sejenis ikan trout yang besar. Ia menggambarkan peta ke sana di selembar serbet kertas. Beberapa minggu kemudian, saya pun berangkat dengan truk mengikuti petunjuk yang diberikannya. Peta itu ternyata membawa saya melalui salah satu jalan terburuk yang pernah saya lalui! Jalan itu dahulu merupakan jalan tembus yang dibuka paksa oleh para penebang pohon dengan buldoser dan tidak pernah diperbaiki. Tanah yang becek, balok-balok kayu yang berserakan, alur-alur yang dalam, dan bebatuan yang besar telah menyiksa tulang punggung saya dan membengkokkan kerangka bawah truk saya. Butuh waktu sepanjang pagi untuk mencapai tujuan saya, dan ketika sudah tiba, saya berpikir, “Mengapa seorang teman tega memberi petunjuk untuk melalui jalan yang buruk seperti ini?”

Namun ternyata danau itu memang sangat indah dan ikannya sungguh sangat besar dan agresif! Teman saya telah membawa saya melalui jalan yang tepat—jalan yang juga akan saya pilih dan jalani dengan sabar apabila saya tahu seperti apa tujuan akhirnya.

Firman Allah berkata, “Segala jalan TUHAN adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan peringatan-peringatan-Nya” (Mzm. 25:10). Ada jalan Allah yang terasa berat dan tidak mulus, sementara jalan yang lain terasa membosankan dan melelahkan, tetapi semuanya dipenuhi kasih setia dan kebenaran-Nya. Di ujung perjalanan, ketika kita menyadari apa yang telah terjadi, kita akan berkata, “Jalan Allah memang yang terbaik untukku.” —David Roper