Mencintai Tuhan


Beberapa tahun yang lalu, seseorang yang pernah dinobatkan sebagai gadis tercantik dan terpandai di negeri ini pernah menegaskan tentang keteguhan imannya serta kecintaannya kepada Kristus ketika dia diguncang isu mengenai pasangan hidup. Pada waktu itu ia menyatakan bahwa dirinya tidak akan menjual imannya kepada Kristus demi mendapatkan pasangan hidup dan ia tidak akan menikah dengan pria yang tidak seiman−yang tidak percaya kepada Kristus.

Namun, gadis yang dikenal cerdas, ‘berprinsip’ dan memiliki iman yang ‘radikal’ ini pada akhirnya justru meninggalkan imannya serta menjual Kristus dan menikah dengan pria yang tidak seiman, setelah sebelumnya ia juga berontak dari otoritas orang tuanya. Ironisnya, pria yang untuknya gadis ini rela menjual iman serta kekekalannya, meninggal bahkan tidak sampai 3 tahun usia pernikahan mereka.

Tragisnya, dalam pidatonya kepada masyarakat saat meminta maaf bagi kesalahan yang mungkin dilakukan oleh almarhum suaminya semasa hidup, gadis yang telah menjadi seorang ibu tersebut bahkan tidak berani memastikan keselamatan almarhum suaminya di kekekalan. Dia hanya berani berkata, “Mohon dimaafkan segala kesalahannya, supaya… jalannya lancar ‘di sana’”. Menilik dari perkataannya, sebenarnya dia tahu benar bahwa suami yang dicintainya melebihi Tuhan itu tidak mendapatkan tempat di surga yang kekal.

Entah apa yang akan terjadi kepada gadis yang melarikan diri dari Tuhan ini selanjutnya. Itu menjadi urusannya dengan Tuhan. Namun, jika dia masih mau dengar-dengaran akan panggilan Tuhan dibalik peristiwa tersebut, seharusnya dia tahu apa yang benar untuk dilakukannya, yakni berbalik kembali kepada Tuhan.

Kisah seperti ini, bisa jadi sedang terjadi di antara kita. Kita yakin tentang betapa besar cinta Tuhan kepada kita mengingat pengorbananNya melalui Yesus di kayu salib. Dengan mudah pula kita sering berkata, “Aku mencintaimu, Tuhan” setelah melihat dan menikmati ‘enak’nya berkat serta kebaikan yang kita terima dariNya. Tetapi bagaimana jika kita sedang berhadapan dengan berbagai tekanan penderitaan, penganiayaan karena berdiri di atas kebenaran Firman? Bagaimana jika godaan dan kebutuhan tentang… ya, katakanlah isu pasangan hidup ‘melambai-lambai’ di depan mata kita? Bagaimana jika maut mengincar kita yang mau setia mengikut Tuhan? Masihkah kita mencintaiNya sama besarnya seperti pertama kali kita memutuskan untuk menjadi ‘mempelai’Nya?

Sungguhkah kita mencintai Tuhan? Sebuah kalimat bijak menuliskan, “Kekuatan cinta teruji melalui waktu dan penderitaan.” Kalimat ini ada benarnya. Kesungguhan cinta kita kepada Tuhan akan terlihat saat kita berada di masa sukar, penuh godaan dosa, kenikmatan dunia dan waktu yang kita jalani dalam hidup. Dan jika hubungan cinta kita dengan Tuhan digambarkan Alkitab seperti hubungan cinta suami istri yang menghasilkan anak, maka demikian pula cinta kita kepada Tuhan akan terlihat dari buah-buah yang kita hasilkan dalam hidup kita setiap hari: buah-buah Roh, pertobatan, karakter, pelayanan dan jiwa-jiwa yang diselamatkan serta dimuridkan.

Seberapa serius kita mencintai Tuhan? Kita dapat menilainya melalui cara hidup kita setiap hari:
-    Apakah hubungan intim kita dengan Tuhan semakin hari semakin bertumbuh? Apakah firmanNya nyata dalam setiap pemikiran, perkataan dan perbuatan kita? Apakah kita sedekat hembusan nafas denganNya melalui doa-doa kita?
-    Apakah kita mudah taat dengan penuh sukacita terhadap segala perintahNya? Apakah sikap dan cara hidup kita kian hari semakin kudus dan sedemikian saleh?
-    Masih setiakah kita melaksanakan setiap tugas Amanat Agung yang dipercayakanNya kepada kita? Bukan karena kewajiban maupun keterpaksaan, tetapi karena cinta kita kepada Tuhan dan menyadari bahwa Amanat Agung adalah kerinduan hatiNya?

Cinta kita kepada Tuhan akan ternyatakan lebih kuat melalui buah-buah kehidupan kita, dan bukan dari lantangnya serta indahnya pernyataan radikal cinta kita kepada Tuhan. Alkitab, para utusan dan hamba Tuhan maupun kejadian-kejadian dunia masa kita meneguhkan bahwa saat ini adalah masa pemurnian bagi anak-anak Tuhan. Baik pemurnian iman maupun cinta kita kepada Tuhan. Akankah didapatiNya iman dan cinta kita semurni emas di hadapanNya? Hidup kita yang akan menyatakannya dengan jelas seberapa dalam dan kuatnya iman serta cinta kita kepadaNya. Pastikan Dia mendapati nama kita di sana. (l@)